Rabu, 20 Februari 2013

Membangun Kelautan dan Perikanan dengan 6 Kebijakan



Enam agenda besar dalam membangun kelautan dan perikanan yang telah dikemukakan pada tulisan sebelumnya (Samudra, edisi Juli 2004) harus dikongkritkan melalui enam kebijakan. Kebijakan pertama adalah melakukan perbaikan fungsi intermediasi perbankan dan lembaga keuangan nonbank, terutama bagi rakyat kecil.

Implementasi kebijakan ini dapat dilakukan dengan menurunkan tingkat suku bunga komersial. Suku bunga yang dapat memancing gairah sektor riil maksimal empat persen lebih tinggi dari suku bunga deposito atau sekitar 14 persen.
Pemerintah dapat pula mendesain kredit program dengan suku bunga yang lebih murah dan persyaratan pinjaman yang lunak bagi usaha ekonomi rakyat kecil, terutama bagi sektor pertanian, kelautan dan perikanan, serta UKM lainnya. Banyak pihak yang masih menganggap bahwa risiko usaha pada sektor riil, terutama di sektor kelautan dan perikanan sangat tinggi. Hal inilah yang  menyebabkan perbankan belum berani menyalurkan kreditnya. Ditambah lagi dengan telah independennya Bank Indonesia semakin sulit bagi pemerintah untuk mendesain kredit program dengan tingkat bunga yang disubsidi.

Namun, menarik bila kita mempelajari sukses Thailand dalam memulihkan perekonomiannya. Salah satu strateginya adalah keberanian pemerintah Thailand meminta lembaga perbankannya untuk menyalurkan pinjaman ke Village Development Fund (VDF) yang kemudian diserahkan kepada sektor UKM dan masyarakat tani dan nelayan.

Artinya, pemerintah yakin bahwa dengan pinjaman yang diberikan lembaga perbankan kepada sektor produktif yang berbasis masyarakat. Hal ini sekaligus akan memberikan multiplier effects berupa penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.

Terbukti dengan keberanian dan kebijakan yang pro UKM ini, ekonomi Thailand tumbuh pesat dengan tetap memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Oleh karena itu, saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk mengikuti langkah Thailand ini, apalagi kini stabilitas makro telah berhasil diciptakan.

Infrastruktur Pembangunan

Kebijakan kedua, memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur pembangunan. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Jawa, infrastruktur berupa jaringan jalan, perhubungan laut, listrik air bersih, dan telekomunikasi, relatif lebih baik dibandingkan wilayah lain.

Perbaikan infrastruktur saat ini harus difokuskan untuk kawasan timur Indonesia (KTI) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta kawasan perdesaan. Pembangunan ini harus mengedepankan prinsip keberimbangan regional sehingga mampu mernpersempit disparitas antara kawasan barat Indonesia (KBI) dengan KTI atau antara Jawa dan luar Jawa.

Biaya transportasi merupakan salah satu variabel penting dalam penentuan harga. Tersedianya jalur transportasi yang mampu menjangkau wilayah terpencil akan membuka akses terhadap pasar.

Investor akan tergerak untuk menanarnkan modalnya karena mereka tinggal berinvestasi untuk membangun pabrik atau pengolahan sumber daya alam seperti kelautan dan perikanan, tanpa perlu lagi membangun infrastruktur lain yang menyedot anggaran. Pembangunan infrastruktur merupakan cost atau investasi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menggerakkan pembangunan.

Di sisi lain, revitalisasi ini tidak terlepas dari mantapnya penerapan kebijakan ketiga yaitu perbaikan kondisi ketenagakerjaan. Pemerintah, pengusaha, dan buruh harus mampu menciptakan harmonisasi hubungan antara pekerja dan perusahaan sehingga bersifat saling menguntungkan (win-win cooperation) dan saling memperkuat (strengthening to each other). Lewat kebijakan ketenagakerjaan harus pula didorong upaya peningkatan kualitas dan etos kerja sehingga para pekerja Indonesia menjadi siap dan mampu bersaing dengan tenaga kerja asing pada era globalisasi.

Kebijakan keempat adalah perbaikan iklim investasi dan usaha ekonomi. Keberhasilan kebijakan tersebut dapat tercapai apabila ada peningkatan konsistensi kebijakan, jaminan, dan kepastian hukum. Iklim investasi dan usaha juga bakal bergairah apabila terdapat penyempurnaan dalam sistem perpajakan, retribusi, dan sejenisnya yang selama ini membebani pengusaha.

Pemerintah juga perlu menyempurnakan otonomi daerah guna mengurangi euforia daerah sehingga desentralisasi itu mampu menciptakan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, semua stakeholder harus memiliki pengertian dan persepsi yang sama tentang prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.

Saat ini kebijakan yang diputuskan pemerintah daerah (Pemda) acapkali bertentangan dengan prinsip di atas. Hal itu misalnya tercermin dari kasus-kasus dimana Pemda mengeluarkan berbagai perizinan yang masih menjadi kewenangan pusat dan menetapkan berbagai pungutan dan retribusi yang memberatkan pengusaha, yang semuanya berujung pada konflik penggunaan sumber daya.

Kebijakan kelima adalah peningkatan kualitas SDM dan Iptek. Pengalaman empiris selama ini membuktikan bahwa kemandirian dan kesejahteraan suatu bangsa sangat ditentukan oleh penguasaan Iptek bangsa bersangkutan. Kita harus mengakui bahwa kualitas SDM bangsa Indonesia dibandingkan bangsa lain makin menurun.

Indonesia sudah mulai tertinggal dari bangsa serumpun, seperti Malaysia dan Thailand. Bahkan, kemampuan SDM Indonesia sudah mulai tersaingi Bangsa Vietnam. Strategi peningkatan kualitas SDM dan penguasaan Iptek dapat dilakukan dengan perbaikan sistem pendidikan, baik formal maupun informal, yang dapat menjawab kebutuhan pembangunan (pasar kerja) dan tantangan zaman. Selain itu, harus ditingkatkan sinergi dan hubungan produktif antara lembaga pendidikan, lembaga ristek, industri (sektor swasta), dan pemerintah.

Supremasi Hukum

Kebijakan terakhir penegakan hukum dan supremasi hukum. Indonesia dalam lima tahun terakhir sejak lama dikenal sebagai risky country untuk berinvestasi sehingga terdapat kecenderungan bagi investor untuk tidak menanamkan investasinya di Indonesia. Jika investor tetap berniat melakukan investasi, biasanya diikuti dengan tuntutan tingkat pembagian (share) laba yang tinggi.

Hal ini berbeda dengan Singapura dan Malaysia, dimana PMA di sana tidak memasukkan klausul pembagian laba yang tinggi dalam syarat investasinya. Kondisi itu tercipta kerana keamanan dan kepastian hukum di kedua negara itu lebih terjamin dibandingkan Indonesia.

Lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya supremasi hukum di Indonesia antara lain ditandai dengan adanya kasus-kasus pelarian modal (capital flight) baik oleh pengusaha asing maupun nasional. Kebijakan penegakan hukum harus diarahkan untuk mengatasi hal tersebut. Misalnya, dengan melakukan upaya penanggulangan kegiatan ilegal (illegal fishing, illegal logging, penyelundupan BBM, dan lain sebagainya).

Upaya penegakan hukum harus diimbangi dengan perbaikan kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS). Telah lama sistem birokrasi dan perizinan di Indonesia dikeluhkan sebagai sarang  korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pelaku KKN yang sebagian besar birokrat itu melakukan tindakan yang melanggar hukum tadi karena rendahnya tingkat kesejahteraan. Oleh karenanya, reformasi sistem birokrasi perlu dilakukan dalam rangka menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien, serta membasmi moral hazard yang menghinggapi birokrasi.

Penegakan dan supremasi hukum bisa dilakukan dengan penerapan stick and carrot policy secara konsisten terhadap lembaga eksekutif, yudikatif, TNI, serta Polri. Lembaga-lembaga yang terlihat memiliki itikad untuk berperilaku sesuai hukum, maka dapat diberikan penghargaan misalnya dengan menambah anggaran bagi departemen itu dalam RAPBN tahun selanjutnya. (Bersambung)

Penulis adalah Menteri Kelautan dan Perikanan RI dan Guru Besar di Institut Pertanian Bogor (IPB).

sumber : cek dimari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar